Rp 4,5 T Royalti Tambang

Rp 4,5 T Royalti Tambang


Empat perusahaan pemegang izin PKP2B di Kaltim menahan pembayaran royalti ke pemerintah pusat sebesar Rp 4,5 triliun. Gemuruh suara bulldozer, excavator dan alat-alat berat itu hampir tak pernah berhenti. Terdengar siang dan malam. Beroperasi di sana-sini, mengoyak lahan-lahan tidur dan kawasan hutan alam Kaltim. Mereka itu – operator-operatornya – seolah tak mempedulikan lagi kerusakan lingkungan sekitar, kecuali terus-terusan bagaimana menguras tambang batubara yang memang berlimpah di provinsi ini. Operasional tambang batubara di provinsi ini mulai terbuka sekitar 80-an. Seiring mulai menipisnya sumberdaya alam hutan. Sekarang ada 33 perusahaan pemegang izin PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) yang beroperasi, 14 di antaranya sudah eksploitasi. Itu belum termasuk ratusan pemegang izin KP (Kuasa Pertambangan) yang seolah ‘lepas kontrol’ mengeruk keuntungan berlimpah, tanpa mempedulikan kondisi yang terjadi. Usaha tambang batubara memang sedang naik daun. Harga produksinya membaik. Permintaan konsumen pun tinggi, di dalam dan luar negeri. Kondisi ini berimbas terhadap peningkatan penerimaan negara, termasuk daerah-daerah penghasil. Tak hanya daerah provinsi, tapi kabupaten dan kota pun kecipratan ‘rezeki’ berupa royalti itu Benarkah itu? Setiap pemegang izin PKP2B memang diwajibkan bayar royalti kepada pemerintah. Besarannya 13,5 persen dari nilai produksi. Rincian royalti yang 13,5 persen itu 40 persen pusat, 20 persen pemerintah provinsi dan 40 persen lainnya daerah penghasil. Tapi, kewajiban PKP2B itu terbentur PP (Peraturan Pemerintah) No 144/2000 tentang barang dan jasa yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN). Batubara sendiri tidak kena PPN. PPN itu seperti jadi boomerang pemerintah. Faktanya, PP 144/2000 itu tak sepenuhnya diterapkan. Perusahaan tetap dikenakan PPN pada awal proses produksi (masukan). Padahal, kalau mengacu kontrak PKP2B generasi pertama yang bersifat khusus (lex spesialis), perusahaan pun harus bebas dari PPN masukan. Kontrak itu juga menyebutkan, pengusaha tambang hanya dikenakan pajak penghasilan (PPh) sebesar 45 persen dan wajib menyetor Dana Hasil Produksi Batu bara (DHPB) sebesar 13,5 persen. “Nilai PPh dan DHPB ini dibagi dua, yakni untuk pengembangan batubara dan royalti kepada pemerintah,” Kabag Pertambangan Umum Distamben Kaltim, Frediansyah ketika ditemui BONGKAR! di kamar kerjanya. Seperti apa mekanisme pembayaran royalti PKP2B itu? Fredi menyebut kewenangannya ada di pemerintah pusat. Tapi, peraturan dan perundang-undangan itu membuat posisi pemerintah daerah agak lemah. Daerah tak berhak menuntut langsung pembayaran royalti ke perusahaan. Berapa besaran royalti yang harus disetor setiap perusahaan PKP2B? “Setahu saya, royaltinya sebesar 13,5 persen. Itu dihitung dari jumlah produksi batubara. Yang menghitung jumlah produksinya adalah Direktorat Bina Program atau Dirjen Mineral Panas Bumi (DMB-PABUM) Departemen ESDM. . Selama ini pemegang PKP2B menyetorkan royaltinya ke pusat, tapi mereka wajib menyerahkan bukti foto copy setor ke Distamben Provinsi,’’ ujar Fredi. Ia sendiri tak punya data bukti setor itu, kecuali berharap pemegang izin PKP2B lebih kooporatif dengan pemerintah daerah. Di bagian lain, Kadistamben Kaltim sendiri, Yakub Kiak mengaku, pemerintah pusat berencana mengubah PP No 144/2000. Kembali ke aturan semula (kontrak PKP2B). Kalau sebelumnya produksi masukan (awal produksi) yang dikenai PPN, maka nanti produksi masukan mau pun produksi keluaran dibebaskan dari PPN. “Perusahaan tambang tak boleh lagi membebankan pajaknya ke pembeli atau kontraktor. Mereka harus bebas dari aturan pajak sesuai kontrak PKP2B generasi pertama,” ujar Yakub. Berbincang di kantornya hari Rabu itu, 11 Februari 2009, Yakub menyebut, sedikitnya ada empat perusahaan pemegang izin PKP2B yang menahan pembayaran royalti kepada pemerintah. Tak tanggung-tanggung, nilainya mencapai Rp 4,5 triliun. Keempat perusahaan itu adalah PT KPC (Kaltim Prima Coal) di Kutim, PT BC (Berau Coal) di Berau, PT BHP Kendilo Coal dan PT KJA (Kideco Jaya Agung) yang keduanya beroperasi di di Kabupaten Paser.*ibnu

0 komentar:






Copyright © 2008 - Anak Perbatasan - is proudly powered by Blogger
Blogger Template